“Ya Allah.. anugerahilah kami mobil sedan. Aamiin..”
Itu doa saya sehabis berwudhu. Waktu kecil. Kira-kira masih TK atau SD kelas awal. Kakak-kakak saya yang mendengarnya tertawa.
“Bukan gitu doanya!” Ujar mereka. Tapi saya tak mengerti. Apa yang salah dengan doa saya? Bukankah Allah Maha Mendengar, Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Saya betul-betul menginginkan keluarga saya yang besar ini -sepasang orangtua, enam anak dan satu nenek- bisa kemana-mana dengan mobil yang lebih bagus.
Kami memang sudah punya mobil minibus Mitshubishi Colt keluaran tahun ’70an. Tapi saya rasa mobil itu sudah ketinggalan zaman. Bentuknya tak lagi keren. Meski jasanya begitu besar membawa kami liburan sampai ke Pulau Jawa. Tapi jasa besar dengan kekerenan memang tak selalu berbanding lurus. Sama dengan manusia, kecerdasan dengan keindahan fisik tak selalu seirama. Begitulah.
Jadi saya pikir, mobil sedan adalah mobil yang sungguh keren. Tak peduli apakah kami muat semuanya masuk ke mobil itu atau tidak. Kekerenan mengalahkan segalanya.
Saya lupa, selang beberapa bulan atau tahun setelah sekian kali doa sehabis berwudhu itu rutin dipanjatkan, Ayah saya membawa pulang sebuah mobil. Bukan Colt-nya yang biasa.
Mobil itu bukan sedan. Itu yang pertama kali saya pikirkan. Warna hijau tua, dengan tulisan “Kijang Kencana” di pintu belakangnya. Di kaca belakangnya tertempel tulisan “Full Pressed Body”, semacam slogan yang sering diagung-agungkan kakak saya yang berusia remaja. Saat saya tanya itu maksudnya apa, dengan yakin dan semringah kakak saya itu berkata “Tulisan itu cuma ada di mobil-mobil bagus, keren”. Keren, karena bahasa Inggris, yang saya pun masih kaku mengucapkannya.
Ketika teringat itu, saya pun berkesimpulan bahwa mobil Kijang Kencana yang dibawa Ayah pulang itu adalah mobil yang keren. Meskipun bukan sedan seperti mobil keluarga Rafika, Kijang Kencana itu tetap keren. Karena ada tulisan “Full Pressed Body” di kaca belakangnya, seperti idaman kakak saya.
Demi mobil keren itu -yang tak juga mampu menampung seluruh jamaah di rumah ini. Kalaupun mampu, baris jok tengah harus berdesak-desakan empat orang. Dan yang di jok belakang, harus rela memangku sebagian barang bila ingin bepergian jauh bersama-sama- Mitsubishi Colt dengan les biru tua itu rela diberikan pada empunya Kijang Kencana. Tukar tambah, sedikit saja. Sebelumnya, Kijang Kencana itu mobil kampus, tempat Ayah mengajar. Jadi Kijang Kencana itu tak baru-baru amat. Tapi saya tak peduli si amat. Yang penting mobil itu sudah nangkring gagah di garasi rumah (sewa) kami. Di rumah, dia jadi semacam idola baru. Rasanya bangga sekali menaikinya.
Diam-diam, saya berterimakasih pada Allah. Berarti doa saya dikabulkanNya. Doa sepenuh hati setelah berwudhu yang dipanjatkan seorang anak kecil itu sungguh mujarab, ternyata. Hmmm…rasanya bisa minta apapun pada Allah itu sungguh asyik! Besok-besok minta apa lagi, ya?
***