Asyiknya Mandi Hujan di Aek Sijorni

DSC_0351

SEBENARNYA lucu juga. Seumur-umur, baru sekarang saya main ke tempat ini, setelah beberapa tahun belakangan sering bolak-balik cuma sekadar lewat. Kalau dari tempat saya di Panyabungan sih ga jauh. Cuma berjarak tempuh hampir satu jam. Lokasinya pertengahan antara Panyabungan dengan Padang Sidempuan. Jadi kalo saya mau main ke Pasid city (bahasa keren ala anak gaul Padang Sidempuan untuk nyebutin kotanya.. 😀 ) atau mau jalan rutin ke Gunung Tua, tempat kerja kedua suami, atau mau ngunjungin keluarga di Medan -yang biasanya sebulan sekali- maka wajib ngelewatin tempat wisata yang kesohor ini. Iya, kesohor di kalangan warga sini dan sekitarnyalah. Hehehe…

Nah, herannya, saya baru Kamis (23/10) kemarin ke sana. Iya, baru kemarin itu. Itu juga karena rencana dadakan suami dan teman-teman kerjanya di RS. Gitu tuh asiknya kerja di daerah. Selesai kerja, bisa jalan-jalan ala wisata alam sorenya. Soalnya deket inii.. 😀 Kalo saya sih, paling sukaaa.. Maka reaksi saya ga diragukan lagi. Antusias. Apalagi itu tempat yang dari dulu pengen dikunjungin tapi entah kenapa selalu terkendala karena ngeliat ramenya pengunjung atau kondisi cuaca yang ga memungkinkan untuk main di sana.

Ehem. Dari tadi sebenarnya saya belum jelas ngobrolin tempat apa ya..haha.. Baiklaahh.. Saya tarik nafas dulu yaa…hmmffh… *bengek*

Aek Sijorni namanya. Dalam bahasa Mandailing, Aek berarti air, sungai, sementara Sijorni berarti jernih. Jadilah, air yang jernih. Letaknya di desa Aek Libung, kecamatan Sayur Matinggi, kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Wuiihh..komplit! Iyalah…siapa tau ada yang beneran pengen ke sini kan. Biar ga nyasar gitu. Hehehe…

Asiknya, tempat wisata ini dapat dijangkau ketika melintas di jalan lintas sumatera (jalinsum). Tapi jangan dikira sungai berair coklat yang mengalir di tepi jalan itu adalah Aek Sijorni-nya ya. Hehe… Memang buat orang-orang yang belum pernah ke sana, pasti udah heran duluan ngeliat penampakan sungai itu. Kok Aek Sijorni-nya ga jernih? Makanya liat dulu dong. Hehe.. Di atas sungai itu ada tiga jembatan gantung yang masing-masing berjarak sekian puluh meter. Tiap-tiap jembatan gantung itu menuju arah air terjun yang mengalir deras di balik semak belukar sana. Kami memilih jembatan gantung kedua (kalau ga salah). Sebelumnya bayar biaya retribusinya dulu yaa. Iya, retribusi atau apalah itu namanya. Soalnya ga pake loket, ga pake karcis. Hehehe… Ga mahaall. Cuma tiga ribu perak per orang.

Selesai urusan bayar membayar, selanjutnya siapkan nyali untuk menyeberang jembatan gantung. Haha… Menuju Aek Sijorni ini memang butuh uji nyali dulu. Yang udah pernah ngelewatin jembatan gantung pasti udah tau ya gimana rasanya. 😀 Kalo naiknya rame-rame, itu jembatan bakal terasa goyang dangdut dikit. Sementara air sungai berair keruh mengalir tenang tapi menghanyutkan di bawahnya. Mana bawa bawaan lagi ya. Siplah. Tapi syukurlah, setelah kira-kira 100 meter (ini cuma kira-kira aja ya. Bisa lebih atau kurang.. 😀 ) sampailah kita di ujungnya. Dan perjalanan ala si Bolang pun dimulai.

This slideshow requires JavaScript.

Kita bakal melewati jalan setapak yang menaik, dikelilingi semak-semak. Kadangkala menyeberangi sungai kecil yang cuma ditopang sebatang kayu. Ha! Bener-bener ngebolang kan? 😀 Akan ada satu spot ketika kita menengok ke sebelah kanan, kelihatan warga situ yang lagi mandi, nyuci, bahkan…uugghh…buang air. Hahaha.. Tapi tenang, kita jalan terus kok. Hihi…Ga lama, mulai muncul pemandangan kolam dan pondok-pondok kecil. Lalu ada air terjun nan cantik yang menyelerakan di sebelah kanan. Lalu ada satu air terjun lagi di sebelah kiri. Lalu masih ada lagi air terjun di atasnya, yang kelihatan dari jauh. Iya, air terjunnya banyak! Bercabang tepatnya. Huwaahh..ngeliat pemandangan di sana itu pengen segera nyebuurr! Segeerrr! Aiihh..ternyata asik juga Aek Sijorni ini ya. Ke mana aku selama ini?? 😛

Sampe di sana, langit memang agak mendung. Saya dan rombongan menyewa dua pondokan yang cukup besar. Apalagi kalo ga buat makan siang. Hehe…Iya, karena makan siangnya menjelang sore, jadilah, bekal yang kami bawa segera dihidang dan dinikmati dengan lahap. Tak terkecuali mie goreng dan bakwan udang ala saya. Hmmm…wenaaakk… *malah promosi 😛

Habis makan, langit tiba-tiba gerimis dan tak lama turun hujan deras. Sempat duduk diem dulu nunggu hujan agak reda. Tapi ga lama. Ya justru di situ asiknyaa. Mandi di air terjun sambil diguyur hujan! Kapan lagi mandi hujan? Perasaan terakhir kali waktu kecil. Hehehe…

Air terjunnya sejuukk dan ga berubah keruh meski hujan deras. Asik sekali duduk di bawah guyurannya. Serasa dipijat. Hehe…Pokoknya ini pengalaman baru setelah sekian lama ga main di air terjun. Kalau biasanya air terjun itu langsung meluncur dari atas ketinggian, air terjunnya ini bertingkat dan terlihat landai tapi tak mengurangi deras airnya. Mungkin karena derasnya, bebatuan yang berada tepat di bawah guyurannya tak berlumut sehingga tak licin. Jadi kita bisa duduk atau tiduran sambil pose di situ. Eeaaa… 😀

Di sana juga ada kolam renangnya loh. Ada beberapa kolam renang malah. Tapi nampaknya sepi, entah karena ga lagi musim liburan atau karena kolamnya berlumut jadi licin. Airnya juga dari air terjun itu. Kalo gitu sih, mending main di air terjunnya langsung ya.. 😀 Memang, kalo lagi liburan, tempat ini ga pernah sepi. Semua spot air terjun bakal rame dengan pengunjung. Kami beruntung datang di sore kemarin saat hari kerja dan sudah menjelang sore. Air terjunnya jadi lumayan sepi.

Karena sudah semakin sore, kami cuma seru-seruan satu jam saja. Momen mengganti pakaian basah ke pakaian kering jadi ke-ngenes-an tersendiri. Haha..apa sebab? Kamar mandinya tak beratap sementara hujan masih turun, meski tak lagi deras. Jadi? Yaa jadi judulnya mengganti pakaian basah dengan pakaian semi basah. Hahaha… haduuhh..bisa-bisanya sih kamar mandinya ga beratap? Hiks.. kalo ga lagi hujan sih ga masalah. Lha kalo kayak gini?

Tapi ya gitu. Namanya juga tempat wisata di kampung, yang lebih banyak dikelola masyarakat sekitar. Belum lagi sampah-sampah yang masih suka dibuang sembarangan sehingga menumpuk di beberapa titik. Sayang seribu sayang. Lagi-lagi alam Indonesia raya yang indah dan menakjubkan ini tak diimbangi dengan kesadaran pemerintah dan masyarakatnya untuk menjaga dan mengelolanya menjadi objek wisata yang bisa dinikmati keindahannya sampai ke anak cucu kelak. Semoga saja Aek Sijorni tetap mengalir deras, bahkan semakin indah suatu saat kelak. Meski begitu, kapan-kapan saya pengen main di sana lagi. Satu jam tentu terasa kurang. Apalagi belum semua lahan luasnya terjelajahi. Maunya datang ke sana lagi pas langit lagi cerah dan saat pengunjung tak terlalu ramai. Waahh..asiknya!

DSC_0352

***

Menyusur Potensi di Pesisir Pantai Natal nan Perawan


 01

***

ANDA pernah berkunjung ke Natal? Saya sudah, dua kali. Mungkin bagi orang-orang yang belum pernah ke sana, berkunjung ke Natal adalah sebuah kemewahan. Tak usah anda, bahkan orang yang sudah lama tinggal di Panyabungan, ibukota kabupaten Mandailing Natal (Madina) yang saya tanyai, masih ada yang mengaku belum pernah ke sana. Wah, bagaimana bisa? Panyabungan tidaklah jauh dari Natal. Cukup lebih kurang 4 jam perjalanan darat, maka kita akan segera menemukan nirwana tersembunyi di sana.

Mungkin yang dimaksud sebagai kemewahan itu karena kurang nyamannya perjalanan ke sana. Memang, perlu niat yang sungguh-sungguh untuk mencapai Natal. Tak berlebihan, karena infrastrukturnya memang tampak belum memadai. Lubang menganga tersebar di mana-mana hampir di sepanjang jalan. Menaiki kendaraan, anda sudah seperti berakrobat ria. Dijamin, anda takkan bisa duduk santai. Kalaupun ada jalan mulus, tak sampai berkilo-kilo meter. Jalanan mulus dan rusak berselang-seling. Rasa pegal di sekujur badan boleh terasa, tapi lihatlah pemandangan setelah sampai. Anda mungkin jadi malas pulang, lebih karena terhipnotis keindahannya.

06

Bahkan sebelum sampai Natal pun, anda sudah disuguhi banyak titik yang menyajikan pemandangan indah. Areal persawahan hijau yang dialiri sungai jernih, persis seperti yang biasa anda lihat di lukisan-lukisan. Sungainya bisa dikunjungi tanpa karcis. Salah satu sungainya bernama Aek Singali. Turun dari kendaraan, anda bebas mandi-mandi di sungai berbatu yang berair deras nan jernih. Sejuk dan menyenangkan sekali.

Atau anda ingin mandi air panas? Ada. Aek Milas Sibanggor, namanya. Mandi air panas belerang di sana asyiknya pada sore atau malam hari. Saat udara tengah dingin-dinginnya, begitu kata orang-orang yang pernah ke sana. Atau kalau hanya ingin sekadar singgah, membeli cemilan, menyeruput teh atau kopi sambil memandang pemandangan kota Panyabungan dari ketinggian? Bisa. Dataran tinggi seperti Puncak Pass itu bernama Sopotinjak, kira-kira 1,5 sampai 2 jam dari Panyabungan. Bukan itu saja. Di sepanjang jalan, anda akan menemukan pesona alam pegunungan yang indah tak putus-putus. Apalagi bila langit sedang biru cerah dihiasi awan. Wow!

Objek-objek wisata alam gratis tadi bisa dianggap sebagai penghibur dan pengalih perhatian dari kurang nyamannya perjalanan anda karena jalan rusak. Mungkin rusaknya jalan bisa menguntungkan. Gerak kendaraan yang melambat bisa anda manfaatkan untuk memotret spot-spot yang asyik. Atau berhenti saja sekalian untuk melepas penat. Dan hiruplah udara segar alami dari alam hijau di sekitar. Pelan-pelan, semangat anda untuk menempuh sisa perjalanan akan terisi kembali.

08

Kira-kira dua jam dari Sopotinjak, anda baru bisa menikmati pemandangan indah pantai Natal, yang bila anda amati tak kalah indah dengan pantai-pantai di Bali atau di wilayah nusantara lain yang terkenal indah dengan pantainya. Melewati kota kecamatannya, anda akan menyusur jalan yang bersebelahan dengan pantai. Syukurlah jalan di sana sudah mulus. Tumbuhan semak belukar dan pepohonan kelapa yang berbaris-baris mengantarai jalan mulus itu dengan pantai. Pantai yang pertama kali anda lewati itu belum seberapa indahnya. Berkendaralah terus sampai hampir satu jam lagi dari pusat kota. Berhentilah di salah satu jalan kecil di sebelah kiri menuju pantai yang tersembunyi itu, dan temukanlah pantai bersih berpasir putih yang sepi serasa pantai pribadi. Kesempatan itu asyik sekali dimanfaatkan untuk berenang atau sekadar bermain-main membasahi tubuh. Wah! Inilah kemewahan yang sesungguhnya!

Karena pantai itu sepi dari manusia, praktis tak ada sekadar warung, tempat singgah untuk membeli minuman dan makanan. Anda harus membawa sendiri kebutuhan berlibur seperti tikar, makanan, minuman, kalau perlu alat barbeque untuk membakar hasil laut segar yang anda beli di pasar kecamatan. Makan ikan bakar sehabis berenang di pantai? Hmmm…nikmatnya!

Oh ya, tak lengkap memang jalan-jalan ke pantai kalau tak singgah ke pasar ikan untuk membeli hasil lautnya yang beragam. Ada bermacam-macam ikan, udang, kepiting, dan lainnya. Bahkan ada lobster, tapi dijual di rumah penduduk. Biasanya lobster yang dijual penduduk nelayan ini jumlahnya terbatas karena sebagian besar untuk diekspor. Ya, disayangkan memang, hasil laut berlimpah itu lebih banyak dinikmati warga asing daripada kita sendiri. Mungkinkah itu dikarenakan insfrastruktur yang buruk sehingga para toke itu enggan mendistribusikan hasil lautnya sampai ke Panyabungan dan daerah lain? Atau daya beli masyarakat yang rendah karena berbagai faktor? Maklum, harga hasil laut berkualitas memang sering kali selangit. Daya beli masyarakat acap kali tak sanggup mengimbanginya.

09

Tapi apapun itu, Natal tetaplah bagian dari kabupaten Mandailing Natal yang potensi alamnya luar biasa bila dikembangkan dengan serius. Sayangnya, pemerintah daerah seolah tak peduli. Entahlah apa sebab mengapa pemerintah daerah tak juga membenahi kecamatan potensial itu. Saya tak pula mengerti birokrasi. Sebagai awam, saya hanya bisa menyayangkan keadaan. Sudah berbelas tahun Madina ini terbentuk, pembangunannya tak jua merata, bahkan nyaris dikatakan stagnan. Itu yang saya amati setelah beberapa tahun di sini. Padahal daerahnya amat potensial untuk dikembangkan.

Seharusnya dengan potensi alam yang begitu besar, kabupaten Madina bisa memperoleh pendapatan daerah yang besar pula untuk mengembangkan sendiri daerahnya. Terutama infrastruktur jalan. Saya sering kali berpikir tak sudah-sudah, bila membandingkan provinsi Sumatera Barat sebagai provinsi tetangga, yang pembangunan infrastrukturnya mulus tanpa hambatan. Jalan-jalan di provinsi itu nyaris tak mengenal kata rusak atau berlubang, sampai ke gang-gangnya. Padahal yang saya amati, potensi daerahnya tak jauh beda dengan yang di Sumatera Utara, terutama kabupaten Madina sebagai yang terdekat. Malah bisa lebih dari Sumatera Barat, mengingat adanya pertambangan emas yang kian marak. Lalu, ke mana semua pendapatan daerah itu digunakan?

Isu korupsi, kolusi dan nepotisme memang selalu menjadi momok di daerah ini. Sikap masa bodoh pemerintah daerah untuk mengembangkan aset daerahnya sendiri menjadi kendala yang tak pernah mencapai kata akhir. Tampaknya pemerintah daerah kurang berusaha untuk menggaet investor swasta guna mengembangkan daerah yang dipimpinnya. Ditambah lagi ketidakpedulian sebagian masyarakat untuk setidaknya menjaga sumber daya alam di sekitarnya, yang tampak dari masih kurangnya kebersihan di lokasi-lokasi objek wisata.

10

Sudah saatnya pemerintah membenahi objek-objek wisata itu dengan serius. Salah satunya dengan memberlakukan tarif khusus yang terjangkau untuk mempekerjakan petugas kebersihan demi terjaganya keindahan tempat-tempat wisata di sana. Sedikit demi sedikit, pemerintah daerah bekerjasama dengan masyarakat menambah hal-hal yang diperlukan untuk pengembangannya, seperti membuka warung makan yang menyajikan hasil laut, penyediaan sarana toilet umum dan tempat ibadah, serta pemenuhan fasilitas lain yang selama ini sulit ditemukan di lokasi pantai.

Bila sarana-sarana penting tadi sudah dipenuhi, bukan mustahil masyarakat menjadikan pantai Natal sebagai tujuan wisata favorit, dan bukan tidak mungkin juga menarik minat wisatawan dari luar daerah. Lebih jauh lagi, penanaman saham investor swasta bukan lagi hal yang mustahil. Dengan demikian, pendapatan daerah dari sektor pariwisata dapat meningkat, sehingga diharapkan pembangunan infrastrukturnya dapat segera dibenahi. Kalau infrastrukturnya sudah baik, maka harapan untuk memajukan kabupaten Madina akan semakin terbuka lebar. Bukankah itu yang sejatinya diharapkan seluruh masyarakat?

This slideshow requires JavaScript.

Kontes Blog #3TahunWB – Warung Blogger Peduli Potensi Daerah

***

>> Semua foto adalah dokumentasi pribadi (AFR).

Menjelajah Surga di Sumatera Utara

Danau Toba, Parapat.

Danau Toba, Parapat. (dok. AFR)

***

Sebelumnya, mari berdoa untuk para korban erupsi Gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumatera Utara. Semoga seluruh masyarakat yang terpaksa mengungsi tetap sabar dan kelak menuai hikmah dari muntahan debu vulkaniknya. Aamiin.. Sungguh, Gunung Sinabung sebelum erupsi beberapa waktu lalu adalah sebuah elemen lukisan alam Tanah Karo yang indah. Pesonanya selalu menarik para wisatawan domestik maupun mancanegara untuk sekadar memandang atau mendakinya. Saya yakin, selalu ada berkah di balik musibah.

***

Tulisan ini terinspirasi tulisan seorang kawan, yang mengulas hasil perjalanannya ke Kawah Putih di Simalungun, Sumatera Utara. Hah? Kawah Putih ada di Sumatera Utara? Bukankah cuma ada di Jawa Barat? Mengetahui itu, ada semacam letupan rasa bangga sebagai warga Sumatera Utara.

Ya, sesungguhnya, Sumatera Utara (Sumut) itu adalah surga. Saya meyakini hal itu. Hanya karena selama ini Sumut lebih banyak dipimpin dan dikelola oleh orang-orang yang kurang berintegritas untuk membangun daerahnya, ditambah dengan kebanyakan masyarakat yang kurang menghargai potensi wisata alam di sekitarnya, keindahan surgawinya tak tampak secara utuh. Cobalah ke Danau Toba. Anda akan menemukan surga di sana. Surga ketenangan yang tiada dua. Bisa dinikmati dari berbagai sisi. Ibarat seorang model dengan lekuk dan pesona yang paripurna. Saya tak pernah bosan menikmatinya, meski hanya sekadar lewat.

Pantai Natal, Mandailing Natal (dok. AFR)

Pantai Natal, Mandailing Natal (dok. AFR)

Itu masih tempat yang paling umum dikenal dunia. Cobalah sekali-sekali ke tempat yang saya ketahui saja. Pantai Natal di pesisir barat Sumatera Utara, misalnya. Keindahannya tak kalah dibandingkan Bali. Masih perawan pula. Atau ke sisi lainnya yang dekat dengan Sibolga. Pulau Poncan. Lumayan lah untuk mengistirahatkan diri sejenak serasa di pulau pribadi. Atau ke Simalem, Tanah Karo. Ini baru sekadar angan-angan bagi saya, karena belum pernah menginjakkan kaki ke sana. Tapi aura “mistis” tentang keindahannya yang menghipnotis, sudah bisa saya rasakan dari cerita-cerita orang-orang yang pernah ke sana. Mungkin semacam ilusi, tapi saya yakin benar adanya.

Atau ke air terjun tersembunyi yang ada di gugusan pulau di pesisir barat sana. Atau danau Siais yang keindahannya masih rahasia, atau tempat-tempat lain yang tampaknya remeh; hanya berupa aliran sungai jernih, tempat pemandian air panas, persawahan yang hijau-subur-makmur, latar bukit barisan yang mempercantik lukisan alam, namun jika dikelola menjadi objek wisata, akan terasa benar perbedaannya.

Namun jika tinggallah jika. Objek-objek wisata yang potensial itu sampai saat ini masih saja belum “naik panggung”. Kalah oleh objek-objek pariwisata yang sudah secara gencar dipamerkan provinsi-provinsi lain. Jawa Barat, misalnya. Provinsi ini bagi saya selalu memesona. Setiap sudutnya adalah keindahan. Sampai-sampai bila melihat foto hamparan kebun teh atau dataran tinggi, saya selalu menduga itu adalah pemandangan khas Jawa Barat. Surga alam yang tampak biasa-biasa saja bisa disulap jadi nirwana kelas tinggi. Padahal, ada kalanya sebenarnya tampak biasa saja.

Selamat datang di Pulau Poncan!

Selamat datang di Pulau Poncan! (dok. AFR)

Saya punya ekspektasi lebih ketika pada pengujung Oktober kemarin, saya dan keluarga besar mengadakan pertemuan -acara silaturrahim- di Bandung. Selain plesir di sekitaran Bandung,  agendanya adalah mengunjungi objek wisata Kawah Putih di Ciwidey. Wah! Saya berseru girang ketika mengetahui akan ke sana. Sudah lama saya memimpikan berkunjung ke kawah yang sering dijadikan setting fotografi, video klip atau adegan film itu. Seperti berada di dunia antah berantah yang eksotis, begitu selalu pikir saya.

Maka jadilah. Pada hari Sabtu (19/10), kami bergerak ke sana dengan menggunakan sebuah bus dan dua mobil pribadi. Sepanjang perjalanan, saya sudah tak sabar ingin melihat langsung bagaimana rupa Kawah Putih yang kesohor itu. Saat sudah tiba di lokasi, pengunjung ternyata sedang ramai-ramainya. Maklum, akhir pekan, dan anak-anak sekolah sedang menikmati jeda sejenak setelah ujian tengah semester. Dari deretan bus-bus dan kendaraan pribadi itu, bisa dikira berapa banyak wisatawan yang tengah menikmati alam di kawah sana.

This slideshow requires JavaScript.

Sesampainya di tempat parkir, masih ada jarak sekitar 10 menit perjalanan yang ditempuh dengan angkot khusus yang mengangkut wisatawan menuju ke kawasan kawah. Sebelumnya para pengunjung diberikan (atau membeli ya? Maklum, soalnya saya dapat jatahnya dari anggota rombongan lainnya) masker agar nantinya tak banyak menghirup uap sulfur yang bisa membahayakan kesehatan. Setelah itu, barulah mengantre untuk menaiki angkot.

Tiba di lokasi, ada semacam ruang terbuka sebelum kita menuruni tangga. Pengunjung ramai sekali, baik turun maupun naik. Beberapa anak tangga ke bawah, barulah terlihat kawah putih yang fenomenal itu. Indah! Saya sempatkan dulu berfoto bersama suami sebelum terus turun mendekati kawah. Semakin turun, semakin nyata ramainya pengunjung. Sejauh mata memandang, yang tampak adalah kawah biru muda yang menguarkan uap putih dengan ratusan (atau ribuan?) manusia yang seolah berebut tempat untuk mengabadikan gambar. Setiap spot rasanya sudah ada yang mem-booking. Saya dan keluarga memilih spot yang terdekat saja untuk berfoto.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara petugas dari pengeras suara, bahwa pengunjung dianjurkan hanya selama 15 menit saja berada di lokasi itu, karena uap sulfurnya yang bisa merangsang timbulnya rasa mual dan pusing. Sayang, kami tak sampai jauh menjelajahi kawasan wisata itu, karena areanya yang cukup luas. Lagipula, mulai terasa efek uap sulfurnya karena saat berfoto melepas masker. Anggota keluarga yang lain sudah lebih dulu kembali ke atas. Tapi saya dan suami masih ingin menjelajah ke titik lain. Ternyata ada gua tertutup di sebelah kiri sebelum tangga. Kami berbelok sejenak untuk sekadar melihat dan berfoto. Karena sudah mulai sedikit mual, berfoto tetap menggunakan masker. Dan, ya sudah. Kami kembali ke atas dengan membawa oleh-oleh beberapa foto yang dirasa lumayan.

Sesampainya di atas, saya masih berpikir-pikir tentang Kawah Putih yang baru saya lihat. Kesan eksotis, hmmm..lumayan dapat. Kesan indah, hmmm…dapat juga. Kesan yang membuat saya ingin ke sana lagi? Hmmm…tidak terlalu. Entahlah. Mungkin karena ramainya pengunjung, sehingga kesyahduan dan eksotisme tempat itu tertutup. Saya bayangkan kalau sedang sepi. Pasti itu akan menarik sekali. Saya bebas mengambil spot untuk objek fotografi di mana saja. Tapi namanya objek wisata yang sudah dipromosikan ke mana-mana, ya jelas saja ramai. Kalau mau sepi, bikin sendiri. 😀

Di atas anak tangga, saya melihat seorang bapak yang dari segi fisik ada kekurangan tampaknya. Si Bapak memainkan kecapi di sebuah saung, bermaksud menarik perhatian pengunjung. Sebuah wadah diletakkan tak jauh dari tempatnya. Saya intip, isinya lembar-lembar uang. Ooh..cara “mengamen” yang elegan, pikir saya. Setelah menaruh sejumlah uang di wadah tadi, saya memotret si Bapak dari berbagai sisi.

Saya dan suami pun bergantian berpose bersama si Bapak. Musik khas Parahyangan yang dimainkannya terdengar nyaman di telinga. Mengiringi kami ke “halte” angkot. Sambil menanti, saya dan suami berpose di tulisan “Kawah Putih”, dijepret Nanguda. Tak lama kemudian, angkot pun tiba, dan saya kembali ke parkiran dengan pikiran; mungkin itulah hikmahnya banyak objek wisata di Sumut tak terlalu diekspos dan dikelola secara profesional. Agar tetap alami dan tak terlalu banyak mengundang pengunjung. Membiarkan keindahannya senantiasa jadi rahasia sampai orang-orang menemukannya sendiri. Begitukah?

Yang jelas, saya jadi ingin sekali ke Kawah Putih Tinggi Raja di Simalungun itu. Dilihat dari fotonya, buat saya, Kawah Putih ala Sumut itu juara!

 ***

>> Sila menikmati foto-foto Kawah Tinggi Raja lainnya di tulisan Rahmad Agus Koto ini. Dijamin ngileeerr… 😀

>> Tulisan terkait: Suatu Ketika di Ciwidey..