Ibu, Cinta Tanpa Akhir


 Hari Ibu-KEB

***

“Kalau sayang anak, jangan dimanjakan.” Begitu selalu nasihat Umak pada kami, anak-anaknya. Aku, si bungsu, mencamkan betul kata-katanya ini. Meski kata orang sebagai anak bungsu seharusnya aku paling dimanja, tapi perlakuan Umak padaku sama saja dengan kakak-kakakku yang lain. Aku belajar mengurus diriku sendiri; mandi, makan, berpakaian, sejak usiaku masih balita. Saat SD, kira-kira mulai kelas 3, aku mulai membantu mencuci piring -paling tidak piringku sendiri- dan melakukan apapun tanpa bantuan sebisaku, seperti membuat susu sendiri, mencuci kaus kaki, menyiapkan buku-buku pelajaran, atau apapun yang bisa kulakukan sendiri. Umak memang sengaja tak memanfaatkan jasa asisten rumah tangga (ART), kecuali untuk mencuci dan menyeterika pakaian. Jadi aku dan kelima abang dan kakak-kakakku, sudah terbiasa mandiri sejak kecil, sehingga tak mengalami kesulitan jika harus menginap atau pergi ke mana-mana.

Sering ketika aku sedang mengobrol dengan Umak, aku  berseloroh karena sekarang Umak memakai jasa ART ketika kami anak-anaknya sudah menikah dan tinggal bersama keluarga masing-masing. “Kenapa nggak dari dulu?” tanyaku sambil nyengir. Biasanya Umak hanya tertawa tanpa jawaban. Lalu aku akan membayangkan jika seandainya dulu Umak sudah mempekerjakan seorang ART untuk membantunya mengurus keenam anaknya ini, mungkin aku, abang dan kakak-kakakku takkan bisa mandiri seperti sekarang. Kalau saja Umak bukanlah sosok yang tegas menyuruhku bangun pagi meski di hari Minggu, barangkali aku bahkan tak terampil merapikan tempat tidurku sendiri. Aku ingat, ketika baru lulus SMP, aku sudah mengurus berkas-berkasku sendiri untuk mendaftar di SMU idamanku, di saat calon siswa lainnya masih diantar oleh Ayah atau Ibunya. Kala itu, aku merasa sangat dewasa.

Sering Umak bercerita, dulu, tentang anak-anak orang lain yang tak dididik orangtuanya agar mandiri. Karena rasa sayang yang besar, seorang ibu yang curhat pada Umak mengeluhkan anak-anaknya yang tak bisa mandiri di usia mereka yang sudah beranjak dewasa. Si ibu masih mengurus segala keperluan anak-anaknya, bahkan hal yang paling remeh sekalipun, karena si anak enggan disuruh belajar mengurus keperluannya sendiri. Kalau dulu si Ibu tak keberatan karena merasa begitulah kasih sayang yang seharusnya diberikan seorang ibu, maka sekarang, ia mulai kewalahan karena usianya yang semakin senja namun masih harus menghadapi anak-anaknya yang tak kunjung mandiri dan dewasa.

“Begitulah kalau sejak kecil tak dididik mandiri. Ujung-ujungnya malah susah sendiri di usia tua. Seharusnya orangtua yang mulai diurus, tapi ini malah masih ngurus anak-anaknya,” Umak menyelipkan pesan moral di sela-sela ceritanya.

“Tak ada gunanya memanja-manjakan anak. Kalau mengaku sayang, sayangilah ia agar bisa mandiri. Kan itu demi masa depannya juga. Justru kasihan kalau anak tak diajar mandiri. Bisalah kalau orangtuanya masih ada. Kalau sudah tidak ada, bagaimana?”

Begitu selalu nasihat Umak, perempuan tangguh yang teguh dalam pendiriannya. Kini, aku sudah merasakan buah didikan kemandiriannya itu. Aku jadi terbiasa mengurus rumah; memasak, menyapu, mengepel, mencuci, dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Meskipun ada jasa ART, tapi sebisa mungkin aku akan melakukan pekerjaan yang bisa kulakukan sendiri. Manfaat kemandirian itu ternyata juga membantuku untuk peka dalam memahami betapa lelahnya pekerjaan orang lain, jadi tak asal suruh jika ada ART. Kalau kita turut merasakan lelah dan ribetnya mengurus rumah, maka kita takkan mudah untuk menyuruh ini itu tanpa tenggang rasa, sehingga tak ada perasaan menggampangkan pekerjaan orang lain.

Kemandirian. Itulah sebentuk cinta Umak yang begitu terasa sampai sekarang. Semoga kelak ketika aku diizinkan menjadi Ibu, aku bisa mewariskan sebentuk cinta Umak itu untuk buah hatiku. Aamiin..

Terima kasih, Umak…

Sebentuk cinta sejati telah kau hadirkan sebagai bekal untukku menghadapi dunia…

***

2 thoughts on “Ibu, Cinta Tanpa Akhir

  1. dari TK saya udah mandiri kak,udah gulung2 minta di pondokan,terus kabur hahaha,lnjut SMP-SMA di pondokin sma abah,trs lnjt kuliah…bener2 udah mandiri dari kecil,memang baru terasa pas kita udah dewasa ya kak…cobaaa dulu ibu g gini,cobaa abah dulu g begitu pasti hasilnya nggak kayak gini..kadang terlintas pikiran yg kayak gitu 😀

    • waaaw..mbak Hanna lebih seru lagi kisah kemandiriannya ya..hebat, mbak..seumur2 aku pisah sama ortu cuma pas nikah aja..dulu mo kuliah jauh ga dikasih..mungkin masih meragukan kemandirianku..hihi.. 😀

Leave a reply to annisarangkuti Cancel reply