Tentang Ayah (15)

Aku, Lokot, Diman, dan beberapa kawan lain yang tak diberi izin masuk bioskop pun mengatur rencana sepulang sekolah. Di bawah pohon trembesi kami berembug seperti akan menyusun strategi perang. Lokot sebagai pemimpin rapat. Beberapa kawan mengajukan gagasannya. Lebih sering nyeleneh dan tak mungkin. Menyamar sebagai orang dewasa? Itu bagi kami hanya ada di film-film. Lagipula, darimana kami bisa mendapatkan kumis dan jambang palsu? Belum lagi cara untuk membesarkan badan kami dengan gumpalan-gumpalan kain atau baju berlapis-lapis. Abang penjaga pintu dan penjual tiket masuk itu aku yakin bukanlah orang bodoh. Bonbon yang kami sembunyikan di kantong belakang celana pun ia pasti tahu, setelah digeledahnya. Lagi pun, ahh…merepotkan saja.

Ada lagi yang menggagas begini; satu orang mengalihkan perhatian Abang penjaga pintu dan penjual tiket masuk dengan cara pura-pura memaksa masuk dan bersitegang hingga menyalakan konflik. Di tengah perdebatan yang seru, ketika si Abang sibuk dengan satu orang tadi yang tanpa sadar telah menjauhi penjagaannya di pintu masuk, yang lain buru-buru melesat ke dalam bioskop. Setelah yakin semua sudah masuk, tinggallah si kawan malang yang menjadi umpan tadi. Ia pun pamit pada Abang penjaga pintu dan penjual tiket masuk yang telah berhasil dikelabuinya namun dengan konsekuensi tak ikut menonton film. Ia dijanjikan akan bergantian menjadi umpan dengan kawan-kawan yang lain di lain kesempatan.

Tapi gagasan yang masuk akal ini menjadi rumit ketika tak seorang pun yang bersedia menjadi umpan pertama. Tak ada yang berani berpanjang-panjang debat dengan si Abang, meskipun hanya akting. Lagipula, bagaimana pula cara kami keluar bioskop nanti sedangkan pintu hanya satu? Bisa-bisa sebagai hukumannya si Abang dengan kejam mengurung kami di bioskop yang gelap semalaman. Maka gagasan yang hampir brilian itu pun gugur tanpa perlawanan.

Kami lalu memasang raut muka berpikir lagi. Sibuk menimbang-nimbang, gerangan apa yang harus dilakukan.

Ah! Aku tahu!” ujarku mengagetkan kawan-kawan yang matanya mengantuk.

“Apa rupanya idemu, Mir?” tanya seorang kawan antusias.

Kek ginicemana kalo kita masuk lewat jalan lain saja. Bukan dari gedung. Tapi dari belakang gedung.”

Bah! Tapi yang kau tahunya gedung bioskop itu cuma punya satu pintu di depan itu. Darimana pulak kalo dari belakang?” Diman meragukan ideku.

“Belum lagi kujelaskan cemananya, Man. Kau udah main serong aja. Gini, pintu belakang itu kan pasti ada lah. Kek mana pulak petugas bioskop itu menayangkan filmnya kalau tak ada pintu belakang? Pasti lah dia memutarnya itu dari belakang. Tapi kan kita tak bisa juga masuk dari pintu itu. Nah, cemana kalo…” Suaraku makin pelan, seolah akan ada yang mendengar rencanaku dari atas pohon trembesi tua itu. Aku menahan nafas sebentar. Mulut kawan-kawanku agak ternganga menunggu perkataanku. Melihat ekspresi mereka, rasa ingin jahilku kumat.

Cemana kalo…kalo…” Aku menahan perkataanku lagi. Kuperhatikan ekspresi kawan-kawanku itu satu per satu. Mulut mereka semakin ternganga menunggu suaraku. Ingin terbahak aku melihatnya.

Cemana kalo…kita gali lobang,” kataku mantap. Kasihan juga aku melihat mereka menunggu seperti itu.

“Gali lobang?” kata mereka hampir serempak.

“Iya. Gali lobang. Ga…li…lo…bang…” kataku meyakinkan telinga mereka.

Sekejap dahi-dahi mereka berkerinyit. Lalu saling pandang sebelum serentak menatapku.

“Apa maksudmu gali lobang? Gali dimana?” Diman menanyakan pikiran mereka yang seragam.

“Kita gali lobang di bawah dinding belakang bioskop itu. Kayak bikin terowongan.”

“Terowongan? Bah! Seberapa dalam pulak kita gali lobang itu, Mir?”

“Ya sebesar badan kita lah supaya bisa masuk. Cemananya kau ini,” ketusku pada Diman. Kawan yang lain berpikir-pikir sambil memandang ke atas.

“Nanti kita gali aja pake tangan kita. Atau apa lah itu yang bisa untuk menggali. Yang penting jangan sampek ketahuan lah.”

“Tak kan cukup lah itu satu malam aja,” Monang bersuara.

“Ya kalo kita rame-rame kek gini kan bisa juga, Nang. Kalo nggak pun, kita lanjutkan malam besoknya. Kan masih banyak waktu kita.”

Mereka mengangguk-angguk, masih dengan dahi yang berkerut. Mungkin rasanya percaya tak percaya dengan gagasanku itu.

“Pokoknya bisa lah itu. Aku yakin kali. Pas udah siap digali, kita lihat lah situasi dulu. Kalo belum memungkinkan, kita tutup aja dulu lobang itu sama daun-daun. Nah, pas malamnya film udah mau mulai, diam-diam kita masuk lewat lobang itu. Tapi jangan pulak sampek tahu penjaganya,” aku menerangkan langkah-langkahnya bak seorang komandan perang. Semangatku menggebu ketika melihat ekspresi mereka yang mulai yakin menerima usulanku itu.

“Terus kapan kita mulai menggalinya?” Lokot mulai antusias.

Kalo nggak malam ini aja lah. Cemana?

Mereka diam sejenak sebelum serempak menjawab,“Keta!” *

Aku tersenyum puas. Wajah-wajah mereka pun mulai sumringah. Mereka pun mulai ribut membicarakan film yang akan mereka tonton nanti; Tarzan.

Lewat depan bioskop “Nusantara”, mataku dan Diman  bersinar-sinar begitu melihat poster film “Tarzan” yang diperankan oleh bintang film barat berambut pirang sebahu. Terbayang asyiknya menonton film tersebut.

“Jangan lupa bawa senter nanti ya, Man,” kataku pada Diman. Aku sudah sampai di depan rumah. Diman mengiyakan lalu pergi ke seberang, pulang ke rumahnya.  Aku tak sabar menanti malam. Sebuah rencana besar akan digelar.

(bersambung…)

***

* Ayo!

Leave a comment